Selasa, 15 Desember 2009

Sekolah Taman

Kaki-kaki lincah milik Hanifah, mengirngi langkah-langkah besar papa dan mama. Sejak dari rumah, Hanikfah di beritahu mama, bahwa hari ini mereka akan pergi melihat sekolah buat Hanifah. Mama juga bilang, kalau Hanifah mau sekolah. Hanifah akan punya teman yang banyak. Ia senang sekali mendengarnya. Makanya, sekarang gadis kecil berusia empat tahunan itu, dengan semangat menggandeng tangan mama dan papanya. Hanifah melompat-lompat sambil bergantungan pada kedua orang tuanya. Dan mata bulatnya, sibuk berkelana menikmati sekitarnya Di sepanjang jlan yang mereka lewati, tumbuh pohon-pohon besar, yang menaungi jalan aspal yang terlihat masih baru. Di sebelah kanan, di bawah pohon-pohon besra itu, tumbuh pula tanaman berbunga biru. Hanifah tersenyum. Warna kesukaanku. Hanifah juga melihat beberapa daun berwarna coklat yang turun sambil berputar-putar dari ranting pohon. Iiih, daunnya terbang, kayak helikopter. Mata Hanifah berbinar-binar. Tapi, sudah tiga menit mereka berjalan dari tempat parkir. Kok belum sampai juga. Pikir Hanifah. Sedari tadi ia berusaha menghitung langkah-langkah besar papa. Kayaknya sudah sampai satu juta langkah papa. Ini mau kemana sih ? Aku kan sudah tidak sabar. Hati Hanifah mulai bosan. Dan langkahnya mulai lelah.
Tiba-tiba Hanifah melepas genggaman tangan papa dan mama. Dia berhenti sejenak memegangi lututnya.
”Kenapa sayang ?” Tanya papanya.
”Pa, kok jauh banget ? Hanifah capek.” Hanifah meringis, sambil memandang wajah tegas dan teduh, di puncak tubuh yang menjulang tinggi milik papa.
”He he. Papa kira Hanifah nggak capek. Dari tadi papa perhatikan, Hanifah jalannya smabil lompat-lompat. Masih sanggup nggak?” Papa berjongkok di depannya. Diikuti oleh mamanya. Wajah bersih itu tersenyum.
”Masih sanggup. Tapi, papa mau nggak gendong Hanifah? Kayaknya enak digendong.” Kata Hanifah sambil nyengir.
”Udah pa, gendong aja. Masih lumayan jauh juga kan, jalannya.” Kata mama sambil memperbaiki jilbab merah mudanya.
”Iya deh.” Papa Hanifah membalikkan badan membelakangi Hanifah. Dan Hanifah segera melingkarkan tangannya di leher laki-laki dewasa idolanya itu. Mama mengikuti di belakang mereka.
”Wiiih. Hanifah jadi tinggi.”
Dua menit kemudian, mereka sampai di depan sebuah gerbang. Gerbang itu tidak terlalu tinggi. Di buat dari papan-papan besar berwarna coklat. Di dua sisi gerbang tumbuh dua pohon mangga yang menyejukkan suasana gerbang. Di salah satu daun pintu gerbang tergantung sebuah anyaman rotan yang dibentuk seperti matahari.
Hanifah menarik tangan mamanya, pelan ”Ma, itu tulisannya apa?” Tanya Hanifah. Ia penasaran melihat anyaman rotan itu, sebagian dicat hijau dan sebagian yang lain dicat biru. Dan di tengahnya ada huruf-huruf berwarna senada.
”Hijau-Biru.” Jawab mama.
”Kenapa tulisannya Hijau Biru, ma?” Tanya Hanifah, bingung.
Mama berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau kita masuk, dan Hanifah bisa bertanya pada mereka yang ada di dalam....” Belum selesai kata-kata mamanya, Hanifah sudah melangkah duluan memasuki gerbang kokoh itu. Mama papa saling berpandangan sambil tersenyum mengikuti langkah putri mereka.
Sampai di dalam, Hanifah mempercepat langkah kakinya. ada sebuah bangunan seperti rumah di tengah kolam besar. Tapi bangunan itu dindingnya Cuma setinggi tubuhnya. Hanifah berdiri di ujung jembatan, yang menghubungkan jalan tempat ia berdiri dengan bangunan besar itu. Di dalam bangunan itu, terlihat beberapa anak sedang menggambar. Dan, masing-masing memiliki sebuah toples kaca di depannya. Sesekali mereka mengamati isi toples. Setelah itu kembali menarik garis-garis pada buku gambarnya.
”Subhanallah ! Bunda, kepompong saya, mulai terbuka.” Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berteriak. Serentak anak-anak lain berhamburan, menghampirinya. Dan terdengar desah kekaguman, yang belum dipahami oleh Hanifah.
Ada apa sih ? Kepompong ? Benda apa itu ? Pikir Hanifah. Suatu saat nanti, aku mau melihat kepompong itu. Hanifah melanjutkan perjalanannya berkeliling. Ada beberapa bangunan lain, yang sama bsarnya dengan bangunan di tengah kolam. Tapi, ada satu yang paling besar. Bangunan-bangunan tersebut di bangun mengelilingi lapangan-lapangan kecil. Sebagian besar ditutupi rumput yang hijau segar. Kecuali, lapangan tengah. Yang hanya ditutupi pasir. Dan di atasnya ada mainan panjat-panjatan, yang dibuat dari tali-tali putih. Di lapangan-lapangan hijau itu, berdiri saung-saung kecil. Masing-masing taman, dihubungkan dengan jalan-jalan. Aku main panjatan aja ah. Hanifah menghampiri mama dan papa.
”Pa, Hanifah mau main ya ?” Kata Hanifah, sambil menunjuk ke lapangan pasir.
”Boleh. Tapi, Hanifah hanya bolah bermain di sekitar ini saja. Tidak keluar gerbang ya ?” Kata papa.
”Iya pa. Besok kita ke sini lagi ?” Hanifah balik bertanya.
”Insya Allah. Silakan Hanifah bermain. Mama dan papa mau ke kantor dulu ya. Itu, di bangunan yang berwarna biru.” Kata mama.
Hanifah menganggukkan kepala. Sesaat kemudian Hanifah sudah asik bermain. Pertama ia memanjat tangga tali, kemudian tiduran dan merangkak di jalinan tali yang seperti jaring laba-laba. Tidak lupa juga, Hanifah mencoba melewati terowongan panjang yang dibuat dari tiga buah drum plastik. Dan sebuah jembataj tali, yang selalu berayun setiap dilewati. Sudah puas bermain, Hanifah melihat ke bangunan biru yang ditunjuk mama tadi. Hmm, papa dan mama masih di dalam. Aku mau keliling lagi ah. Hanifah berlari, menuju ke sebuah tempat di dekat pagar pembatas. Di sana ada banyak kandang. Ia mendengar suara-suara yang berasal dari dalam bangunan – bengunan kecil dari bambu itu. Hanifah mendekati kandang-kandang tersebut. Wah, itu Kambing. Di sebelahnya ada kelinci, Marmut, Burung Kaka Tua, Seekor Kera dan beberapa jenis burung lain, yang di satukan dalam sebuah kandang. Mata Hanifah membesar. Di sini ada kebun binatangnya. Hanifah mengamati kandang-kandang itu satu persatu. Sambil mengajak bicara para penghuninya. Rata – rata dengan dialog yang sama. ”Hai, kamu lagi ngapain ?”
Setelah itu, Hanifah menjelajah kebelakang salah satu bangunan. Lima belas anak, sedang berada di sebuah kebun yang berpetak-petak. Mereka masing-masing membawa keranjang, menutup kepala dengan caping dan menggunakan sepatu boot berwarna-warni. Di petak pertama ada tanaman-tanaman tomat yang pada ranting-rantingnya telah bergantungan, buah-buah tomat yang matang dan ranum. Di petak ke dua, cabe-cabe talah memerah di pohonnya. Dan petak terakhir, ditumbuhi tanaman terong ungu yang belum bisa dipanen. Anak-anak itu, terlihat senang sekali memetik tomat dan cabe di kebun. Hanifah ingin sekali ikut bergabung. Tapi, boleh tidak ya, aku ikut bergabung? Pikir Hanifah. Ah, besok kan, kata mama mau ke sini lagi. Mungkin besok mereka tidak ada di kebun. Besok, aku mau memetik tomat- tomat itu juga. Hanifah meninggalkan kebun. Gadis cilik berjilbab biru itu mau menuju ke bangunan biru. Sambil melihat kegiatan di beberapa saung di lapangan yang mulai di isi oleh anak-anak. Ada yang sedang membaca, di saung yang paling jauh dari tempat Hanifah berjalan, terdengar sayup-sayup suara seorang anak yang sedang bernyanyi. Saat Hanifah menengok ke kiri, di belakang bangunan yang lain, Hanifah melihat beberapa pohon buah yang ranum, juga anak-anak yang sedang membuat pasar kecil di bawahnya. Mereka berjualan buah. Pembelinya orang dewasa.
”Assalamu’alaikum adik kecil.” Sebuah suara mengagetkan Hanifah.
”Wa’alaikumsalam.” Hanifah mengamati si pemilik suara. Seorang anak perempuan yang lebih besar darinya. Memakai baju panjang, jilbab kuning, sepatu boot dan membawa sebuah papan kecil yang didekapnya. Juga sebuah pensil yang siap menuliskan sesuatu. ”Kakak lagi bawa apa ?” Tanya Hanifah penasaran.
”Ini namanya papan scanner, kakak lagi mencatat warna-warna kesukaan semua orang hari ni. Warna kesukaan adik, apa? Eh, nama adik siapa sih?”
”Namaku Hanifah. Hanifah suka warna biru.” Jawab Hanifah mantap.
Anak perempuan itu mulai menulis. ”Hanifah, di kolom biru.”
”Lihat dong, kak.” Hanifah menjulurkan kepalanya. Anak perempuan itu sedikit membungkukkan tubuhnya. Sehingga Hanifah bisa melihat apa yang ia tulis.
”Nih, ini nama Hanifah. Terus, kakak beri tanda centang di kolom berwarna biru ini.” Katanya. Hanifah tersenyum senang karena namanya tertulis di papan itu. Walaupun ia sendiri belum bisa membaca. ”Terima kasih ya, dik.” Anak itu pun pergi dan menghampiri seorang anak laki-laki yang sedang membaca di bawah saung. ”Assalmu’alaikum. Warna kesukaan kamu apa?” Tanyanya dengan riang. Kemudian memncatat jawaban anak-laki-laki itu. Hanifah memandangi mereka. Suatu hari nanti, aku mau juga mencatat warna kesukaan orang.
Hanifah membelokkan pandangannya ke bangunan biru. Terlihat mama papanya sedang berpamitan pada seorang wanita yang sama tinggi dangan mama. Mama memeluk wanita tersebut. Kemudian papa menangkupkan ke dua tangannya di depan dada ke arah wanita yang sekarang berdiri di ambang pintu. Wanita itu juga melakukan hal yang sama. Hanifah segera berlari menghampiri mereka. Wanita itu sudah menghilang ke dalam bangunan biru. Papa membungkukkan badan, menyambut kedatangan Hanifah.
”Bagaimana Hanifah. Sudah main ke mana saja anak papa ini?” Papa memeluk Hanifah erat.
”Sudah ke situ, ke sana, sama ke belakang.” Kata Hanifah, sambil menunjuk ke beberapa tempat yang ia kunjungi tadi. Dan mereka mulai meninggalkan tempat itu. Pulang.
Sore harinya. Hafidz, kakak Hanifah yang baru pulang dari sekolah. Di sambut oleh celaotehan Hanifah, mengenai tempat yang mereka kunjungi tadi pagi. ”Kak Hafidz kak Hafidz. Tadi Hanifah di ajak mama sama papa ke tempat bagus lho. Ada panjatan dari tali, jaring laba-laba, kebun binatang, kebun tomat, sama apa lagi ya?” Hanifah mencoba mengingat sesuatu yang menarik. ”O iya, Hanifah tadi ditanya sama kakak-kakak. Dik, suka warna apa? Terus dicatat di papan kecil. Ada juga anak-anak yang punya ping-pong di dalam toples.” Cerita Hanifah dengan pe de-nya.
Hafidz yang sejak tadi hanya mendengar dan mengangguk. Menatap Hanifah dengan heran. ”Ping pong ? Ping pong kok di taruh di toples. Untuk apa ?”
”Untuk di gambar. Kan katanya ping pongnya udah mulai robek. Terus pada dilihat sama yang lain.”
”Ooo. Itu mungkin kepompong Hanifah. Dari kepompong yang robek itu akan keluar kupu-kupu.” Jelas Hafidz.
”Eh, iya. Kepompong. Kok, kak Hafidz bisa tau sih?” Tanya Hanifah.
”Kakak pernah belajar tentang kepompong dan kupu-kupu.” Mama dan papa yang sedari tadi duduk di ruang tamu, hanya tersenyum mendengarkan dialog kakak beradik itu.
”Belajar?” Hanifah jadi teringat sesuatu. ”Ma, tadi pagi katanya mau lihat sekolah. Kok kita Cuma pergi ke taman besar sih?” Tanya Hanifah.
”Lho, sekolah Hanifah nanti. Ya di taman besar itu sayang.” Jawab mama.
”Hah, itu sekolahnya. Yang ada kebun binatangnya?” Hanifah terkejut sekaligus heran. Soalnya, Hanifah pernah melihat sekolah yang ada di blok sebelah. Di sana Cuma ada gedung dan lapangan. Mamanya mengangguk. ”Yang ada pohon tomatnya?” Mamanya mengangguk lagi. ”Yang ada bangunan birunya?” Sekali lagi mama mengangguk. ”Hore hore... Hanifah mainan di sekolah taman tiap hari.” Hanifah berlari berkeliling sambil melompat riang. Mama, papa dan kak Hafidz tersenyum saling berpandangan. ”Sekolah taman?” Papa dan mama hanya mengedikkan bahu. Tapi, mereka juga senang. Berarti tidak perlu lagi membujuk Hanifah untuk bersekolah di Hijau-Biru. Alhamdulillah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Fiani Gee. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase