Senin, 15 Februari 2010
Keluargaku atau Dakwahku..?
KASUS 1
Sebelum teman saya menikah, dia pernah berkata. “Biar saya sudah menemukan pasangan hidup nanti, saya masih mau kerja begini.” Saat itu, kami sedang menuju kesebuah acara baksos. Kata-kata itu, membuat saya mengaguminya. Hingga tujuh bulan kemudian, teman saya tersebut melangsungkan pernikahannya. Tiga bulan pertama, semua masih berjalan seperti biasa. Namun, dibulan selanjutnya, teman saya tersebut mengalami kesulitan untuk sedikit bersantai di tempat kerjanya. Karena, setiap kali selesai jam kerja, sang suami langsung menghubunginya lewat telepon. Padahal biasanya, kami masih harus membicarakan kerja-kerja dakwah yang sangat padat. Semakin diperhatikan, suaminya terus melakukan hal-hal yang semakin menarik perhatian. Entah bercanda, atau apalah. Yang pasti itu cukup mengganggu. Setahun kemudian, setelah pernikahannya, dan memiliki seorang anak. Teman tersebut berhenti bekerja. Dengan alasan ingin fokus untuk mendidik anak.
KASUS 2
Seorang saudara seiman, pernah membuat teman-temannya begitu kagum dengan aktifitasnya. Karena dia membina banyak kelompok pengajian. Dia juga sangat perhatian pada keluarganya. Dan saya juga mengagumi. Tentu saja, seorang aktivis sepertinya memang jarang ditemui. Hingga akhirnya beberapa bulan yang lalu, saudara kami itupun menikah. . Mempersunting seorang akhwat pilihannya. Dan sejak saat itu, saya jarang menemukannya dalam aktivitas dakwah, yang biasa kami geluti bersama. Yang sangat disayangkan adalah banyak diantara kami yang begitu mengaguminya. Sehingga kami selalu menghibur diri dengan kalimat, “Lagi sibuk kali.”, “Mungkin lagi sakit.” Atau :BIarlah, kan masih pengantin baru.”
KASUS 3
Sebelum pernikahannya, seorang sahabat, pecinta pendidikan, telah melakukan perjanjian pranikah dengan calon suaminya. Bahwa suaminya tidak boleh melarangnya untuk terus melakukan kegiatan pendidikan. Saat ini, ia sudah memiliki dua orang anak. Dan berhasil mengelola sebuah lembaga pendidikan bermutu di sebuah kota. Namun, sekarang sahabat tersebut hanya melakukan aktivitas di rumah saja. Suaminya mengharapkan dirinya untuk lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak-anak, bersama keluarganya. Seorang teman yang pernah yang pernah menghubunginya, menceritakan, bagaimana kesedihan sahabat saya tersebut.
Rasanya tidak ada seorang pun, yang bisa disalahkan dalam ketiga kasus di atas. Bisa jadi keluargalah yang mengharapkan setiap anggotanya untuk lebih sering berada di rumah. Atau diri kitalah, yang enggan untuk meninggalkan keluarga. Sebagai seorang yang belum menikah, mungkin saya tidak berkompeten untuk mengungkapkan hal seperti ini.
Namun, tiga kasus di atas, sering membawa pikiran pada perenungan yang sangat panjang. Bahkan tidak jarang, saya memiliki kekhawatiran terhadap masa depan. Bagaimana nasib saya saat menikah ? Bagaimana pasangan saya nanti ? Apakah ia akan membebaskan saya untuk melakukan aktifitas dakwah ? Atau, ia menginginkan saya untuk berjihad di dalam rumah saja ? Sebuah kekhawatiran yang patut tertanam. Jika kita masih mau melakukan dakwah tanpa batas. Namun, tetap proporsional.
Saya tidak ingat secara tepat, dari mana sumbernya. Namun, saya pernah mendengar ungkapan, “Keluarga akan membawamu untuk mengingat dunia.” Bisa jadi pernyataan tersebut, terbukti dengan kasus di atas. Bisa dikatakan, kita sering menjadikan keluarga atau pasangan kitasebagai alasan untuk mengurangi aktifitas dakwah luar rumah. Apalagi, dakwah saat ini menuntut perhatian khusus, kemasan istimewa, menghabiskan banyak waktu dan terganjal oleh ghazwul fikri yang merajalela. Bisa jadi, istri yang cantik, membuat seorang suami menjadi enggan pergi mengaji. Keasyikan bermain bersam buah hati kita, mungkin saja membuat kita bimbang untuk mengisi majelis taklim. Bahkan, seorang rekan, pernah mengatakan, “Saya nggak bisa seperti fulana yang “keluyuran”, sementara anaknya ditinggal di rumah.” Rekan saya tersebut menganggap kegiatan berdakwah, sebagai tindakan dzalim, yang akan mengorbankan kepentingan keluarga. Walaupun, tidak dapat dibenarkan juga jika seseorang begitu giatnya berdakwah, sampai melalaikan keluarganya.
Tentu saja, pernah terlintas dalam pikiran. Bahwa santai di rumah dengan keluarga memang tidak memerlukan banyak energi, seperti layaknya kita menghabiskan banyak tenaga dan tentu saja, waktu untuk berdakwah. Kita senantiasa merasa nyaman dan aman saat berkumpul dengan istri atau suami dan anak-anak. Terkadang keikhlasan kita, boleh jadi terkikis oleh ungkapan, “Di rumah, kita belum tentu mau melakukan ini.” Dan pernyataan itu akan diungkapkan oleh seorang aktivis yang tidak menyadari, untuk apa ia hidup. Bukankah Allaah telah membeli jiwa dan raga setiap orang beriman. Dan dari perniagaaan itu, akan beroleh senuah keuntungan besar, yaitu surga. Ya, hidup kita, bukan hanya milik kita dan keluarga. Allaah berfirman,
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi:46)
Bahkan Allaah melengkapi perjalanan islam dengan sebuah kisah pengorbanan besar. Kisah keluarga Ammar, yang luar biasa. Yang memilih untuk tetap teguh dalam keimanan. Sekalipun, pilihan keduanya adalah mempertaruhkan hidup keluarganya. Panas api dunia, panas api dunia lebih baik dari pada ‘berkhianat’ kepada Allaah.
Kisah keluarga Ammar, bukanlah doing motivasi. Tapi, itulah sejatinya pengorbanan dari perjuangan seorang jundi. Dunia dan isinya, boleh jadi begitu indah. Namun, menggenggam dunia dengan dakwah ilallaah, itu pasti lebih indah. Dan jalan ini, tidak disiapkan oleh Allaah, untuk melalaikan kita dari kehidupan dunia. Justru jalan dakwah disiapkan untuk membuat kehidupan dunia kita lebih baik. Jika kita sudah meyakini. Maka saatnya.. mengajak keluarga kita untuk memahaminya. Karena, jalan inilah yang insya Allaah, akan mengumpulkan kita dan keluarga di surga. Amiin Yaa Rabbl’aalamin.
By Afiani Intan Rejeki
*Tabloid Cakrawala, 2006
2 komentar:
postingan yg bagus. :)
Nirwan> Makasih ya... Blognya keren... sekali lagi... blog yang kaya pendapat... :)
Posting Komentar